Makalah Tauhid : NALURI BERAGAMA PADA DIRI MANUSIA
by : Siti Marfuah dan Siti Zumaeroh
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah puji syukur
penulis panjatkan kepada Allah swt, karena berkat ridho dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Naluri Beragama Pada Diri Manusia” tanpa ada suatu halangan.
Sholawat dan salam
senantiasa penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad saw yang selalu
kita nanti-nantikan syafaatnya di hari kiamat.
Dalam penyusunan makalah
ini banyak bantuan yang penulis terima. Oleh karena itu, penulis ucapan terima
kasih kepada:
1.
Orang tua yang selalu memberi doa
dan restu.
2.
Bapak Drs. Zumrodi, M. Ag selaku
dosen mata kuliahTauhid Ilmu Kalam.
3.
Semua pihak yanng terkait dalam
penulisan makalahini.
Kiranya segala kebaikan
yang telah diberikan, mendapatkan balasan dari Allah swt.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
masih penulis harapkan untuk perbaikan selanjutnya.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi perkembangan Tauhid Ilmu Kalam.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Pati, Maret 2014
Penulis
I.
PENDAHULUAN
Dalam al-Qur’an manusia berulang kali di angkat derajatnya namun berulang
kali pula direndahkan. Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan
alam namun mereka bisa juga merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang
rendah. Beberapa ayat al-Qur’an yang menggambarkan kondisi paradoks manusia
antara lain :
“ Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. (QS.
At-Thin, ayat 1-3).
Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan (thaqatul
hayawiyah) pada diri manusia, yang berupa kebutuhan jasmani (Hajatul Adlawiyah),yang
penampakanya berupa rasa lapar, rasa haus, menghirup udara dan lain-lain dan
kebutuhan naluri (Al-Gharizah), yang terdiri dari naluri beragama (Gharizatut
Taddayun),naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa) dan naluri melangsungkan
keturunan (Gharizatun Nau’).
B.
RumusanMasalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.
Bagaimana hakikat manusia?
2.
Bagaimana hakikat naluri beragama pada
diri manusia?
C.
Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam penulisan
makalah:
1.
Menjelaskan hakika tmanusia.
2.
Menjelaskan hakikat naluri beragama pada diri manusia.
D.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari pembahasan
topik ini adalah:
1.
Meningkatkan
pemahaman mahasiswa tentang hakikat
manusia.
2.
Meningkatkan
pemahaman mahasiswa tentang hakikat naluri beragama pada diri manusia.
II. PEMBAHASAN
A.
Hakikat Manusia
Al-Qur’an mengungkap manusia dalam tiga istilah, yaitu
:
a.
Al-Basyar
b.
Al- Nas,
al-ins, dan al-insan
c.
Banu Adam dan Dzurriyah Adam
Dalam ensiklopedi semua kata tersebut mempunyai arti yang sama yaitu
manusia. Para mufassir juga mengatakannya demikian. Tetapi bila dikembalikan
kepada rasa bahasa (dzawq), meskipun secara arti sama,namun secara
hakikat istilah-istilah tersebut memiliki perbedaan satu dengan yang lain,
demikian menurut Bint al-Syathi. Untuk mendukung pendapatnya ia merujuk kepada
al-Quran yang mengungkap tentang penjelasan istilah-istilah tersebut.
Pengungkapan al- Quran tentang istilah-istilah di atas bisa diuraikan sebagai
berikut.
a.
Al-Basyar
Menurut bahasa kata al-basyar tersusun dari akar kata ba’, syin,
dan ro’ , yang berarti “sesuatu yang tampak baik dan indah” atau
“bergembira, menggembirakan atau menguliti/mengupas (buah)” atau memperhatikan
dan mengurus sesuatu”. Menurut al-Roghib, kata basyar adalah bentuk
jamak dari kata basyiroh yang artinya “kulit”. Manusia disebut basyar
karena memiliki kulit yang permukaannya ditumbuhi rambut dan berbeda dengan
kulit pada hewan yang umumnya ditumbuhi bulu. Kata ini dalam al-Quran digunakan
dalam makna yang khusus untuk menggambarkan sosok tubuh lahiriah manusia.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Bint al Syathi. Menurutnya, kata basyar
merujuk pada pengertian manusia dalam kapasitasnya sebagai makhluk jasmaniah,
yang secara fisik memiliki persamaan dengan makhluk lainnya, membutuhkan makan
dan minumuntuk hidupnya.[1]
Jadi, pada intinya al-basyar itu berarti menunjuk pada aspek
realitas manusia sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk biologis.
b.
Al-Nas,
Al- Ins, Al-Insan
Kata al-nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali, yang
dengan jelas menunjuk pada pengertian manusia sebagai keturunan Adam AS. Al nas
dalam konteks ini dipandang dari aspeknya sebagai makhluk sosial.[2]
Sedangkan kata al-ins dan al-insan keduanya bersal dari satu
akar kata,tapi bila dilihat dari segi penggunaannya dalam al-Qur’an mempunyai
arti yang berbeda, yaitu penggunaan kata al-ins yang memiliki arti
manusia dapat diindera dan tidak liar, sedangkan al-insan lebih mengacu
pada peningkatan ke derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk
memangku jabatan khalifah dan memikul beban tanggung jawab dan amanat manusia
di muka bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan ilmu, persepsi,
akal dan nurani.
Hal lain yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah dibekalinya
manusia dengan ilmu pengetahuan. Disinilah letak salah satu perbedaan antara
manusia dengan makhluk lainnya.
c.
Banu Adam dan dzurriyah Adam
Kata Banu berasal dari akar kat ba’, nun dan ya’ yang
berarti sesuatu yang lahir dari yang lain, dan kata dzurriyah berasal dari kata
dzal, ro’ dan ro’ yang berati halus, lembut dan tersebar. Kedua
istilah ini diartikan dengan manusia karena dikaitkan dengan kata Adam, yakni
bapak manusia (abu al basyar) sebagai manusia pertama yang diciptakan
Tuhan dan mendapatkan penghormatan makhluk-Nya yang lain kecuali iblis.
Masalah ketidak tundukan iblis ini diungkapkan al-Qur’an dalam surat
Al-Baqarah: 34
Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat : “sujudlah kamu
kepada Adam”, maka sujudlah mereka kecuali iblis, ia enggan dan takabur, dan ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Secara umum kedua istilah tersebut menunjukkan arti keturunan yang berasal
dari Adam, atau dengan kata lain kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa
secara historis asal usul manusia adalah satu. Bedanya, istilah Banu Adam
secara spesifik mengacu kepada adanya hubungan darah seluruh umat manusia,
sedangkan istilah dzurriyahAdam mengacu kepada makna keragaman manusia
yang tersebar dalam berbagai suku, bangsa dan warna kulit yang berbeda.[3]
B.
Naluri Beragama pada Diri Manusia
Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan (thaqatul
hayawiyah) pada diri manusia, yang berupa kebutuhan jasmani (Hajatul
Adlawiyah),yang penampakanya berupa rasa lapar, rasa haus, menghirup udara dan
lain-lain dan kebutuhan naluri (Al-Gharizah), yang terdiri dari naluri beragama
(Gharizatut Taddayun),naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa) dan naluri
melangsungkan keturunan (Gharizatun Nau’).[4]
Sebagaimana yang telah kita tahu
bersama, bahwa manusia mempunyai naluri sebagai hewan beraqidah atau secara
naluriah manusia adalah hewan yang beragama. Sebagaimana juga telah
diterangkan, bahwa aqidah agama ini merupakan sesuatu yang tidak bisa
dipisahkan sejak awal pembentukan psichis dan mental manusia.[5]
Di dalam
diri manusia terdapat suatu potensi hidup (dorongan/semangat) yang senantiasa
mendorong melaksanakan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut
memiliki dua bentuk manifestasi. Yang pertama, menuntut adanya pemuasan yang
bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang
dinamakan ‘kebutuhan jasmaniah’ (haajatul ‘udhuwiyah) seperti makan,
minum, dan membuang hajat. Yang kedua, menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi
jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati, melainkan akan merasa gelisah,
sehingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan ‘naluri’ (gharizah).
Naluri
beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia. Sebab, naluri ini
merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang
mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut.
Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada selama ia menjadi manusia. Baik ia
(orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadap-Nya, namun beriman
kepada materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan ini dalam diri setiap
manusia bersifat pasti (harus muncul). Sebab, perasaan ini tercipta sebagai
salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak mungkin memisahkannya
atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayyun
(perasaan beragama).[6]
Bukti bahwa
manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat pula dilihat
dari bukti-bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan
antropologis itu kita dapat mengetahui bahwa pada kehidupan masyarakat primitif
yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka
mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terbatas
pada daya khayal mereka. Misalnya, mereka mempertuhan benda-benda alam yang
menimbulkan kesan misterius dan mengagumkan. Kepercayaan demikian selanjutnya
disebut sebagai agama dinamisme. Selanjutnya kekuatan misterius itu mereka
pahami sebagai ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecenderungan baik dan
buruk. Kepercayaan demikian selanjutnya disebut sebagi agama animisme. Dalam perkembangan
selanjutnya, ruh atau jiwa tersebut kemudian mereka personifikasikan dalam
bentuk dewa-dewa yang jumlahnya banyak dan oleh karena itu disebut agama
politheisme. Fakta historis dan antropologis ini membuktikan bahwa manusia
benar-benar memiliki potensi bertuhan.[7]
Adapun
perwujudan dari tadayyun adalah adanya perasaan taqdis (pensucian)
terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa, atau terhadap segala sesuatu yang
digambarkannya sebagai penjelmaan dari Sang Pencipta. Kadang kala ‘taqdis’ itu
terwujud dalam bentuk yang hakiki (sempurna), sehingga menjadi suatu ‘ibadah’.
Tetapi terkadang pula terwujud dalam gambaran/bentuk yang sederhana, sehingga
hanya menjadi sebuah kultus atau pengagungan. Taqdis adalah penghormatan
setulus hati yang paling tinggi, yaitu bukan penghormatan yang berasal dari
rasa takut, tetapi berasal dari perasaan tadayyun. Sebab, taqdis bukan
merupakan manifestasi dari rasa takut. Manifestasi dari rasa takut tidak lain
adalah kegelisahan, pelarian, atau usaha untuk membela diri. Hal ini jelas
bertentangan dengan hakikat (kenyataan) taqdis. Dengan demikian, taqdis
adalah manifestasi dari perasaan tadayyun bukan dari rasa takut.[8]
III.
PENUTUP
Al-Qur’an mengungkap manusia dalam
tiga istilah, yaitu :
a. Al-Basyar
b. Al- Nas,
al-ins, dan al-insan
c. Banu Adam dan Dzurriyah
Adam
Di dalam
diri manusia terdapat suatu potensi hidup (dorongan/semangat) yang senantiasa
mendorong melaksanakan kegiatan serta menuntut pemuasan. Potensi tersebut
memiliki dua bentuk manifestasi. Yang pertama, menuntut adanya pemuasan yang
bersifat pasti, jika tidak terpenuhi maka manusia dapat binasa. Inilah yang
dinamakan ‘kebutuhan jasmaniah’ (haajatul ‘udhuwiyah) seperti makan,
minum, dan membuang hajat. Yang kedua, menuntut adanya pemenuhan saja, tetapi
jika tidak dipenuhi manusia tidak akan mati, melainkan akan merasa gelisah,
sehingga terpenuhinya kebutuhan tersebut. Inilah yang dinamakan ‘naluri’ (gharizah).
Naluri beragama merupakan naluri yang tetap ada dalam diri manusia. Sebab,
naluri ini merupakan perasaan membutuhkan kepada Sang Pencipta Yang Maha Kuasa
yang mengaturnya, tanpa memandang siapa yang dianggap Sang Pencipta tersebut.
Perasaan ini bersifat fitri yang selalu ada selama ia menjadi manusia. Baik ia
(orang yang) beriman terhadap Khaliq atau ia kufur terhadap-Nya, namun beriman
kepada materialisme dan naturalisme. Perwujudan perasaan ini dalam diri setiap
manusia bersifat pasti (harus muncul). Sebab, perasaan ini tercipta sebagai
salah satu bagian dari penciptaan manusia, sehingga tidak mungkin memisahkannya
atau menghilangkannya dari diri manusia. Itulah yang disebut tadayyun
(perasaan beragama).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghoniy Abud Abdu, Aqidah Islam Versus Ideologi Manusia, Ponorogo: Trimurti Press, 1992.
Mufid Fathul, Ilmu Tauhid
/ Kalam, Kudus: STAIN
KUDUS, 2009.
Muchtar Aflatun, Tunduk kepada Allah, Jakarta
Selatan: KhazanahBaru, 2001.
http://rihlah.tripod.com/rihlah/edisi28.htmlDiunduhtanggal 17 Maret 2014
http://compaq40.wordpress.com/2009/07/05/potensimanusiakebutuhannalurialgharizahkebutuhan-jasmani-hajatul-adlawiyah/Diunduhtanggal 17 Maret 2014.
http://Arsya.wordpress.com/2010/03/naluri-agama.html
di unduh pada tanggal 15 Maret 2014.
0 Response to "Makalah Tauhid : NALURI BERAGAMA PADA DIRI MANUSIA"
Post a Comment