Secret of Borobudur
Sejarah pemugaran Candi Borobudur
(Misteri Chattra di Puncak Borobudur)
" Dulu ketika Borobudur selesai direnovasi, ada
terdapat Chattra di puncak candinya yang berbentuk batu bertingkat tiga. Nah,
jika sekarang kita berkunjung ke Candi Borobudur,
kita tidak akan menemukannya lagi di puncak candi tersebut. Lalu kemana
perginya Chattra itu..?? "
Dulu, Jawa berada dibawah pemerintahan
Britania (Inggris) pada kurun waktu 1811 hingga 1816 masehi setelah perang yang
terjadi antara Inggris-Belanda dalam memperebutkan pulau Jawa. Saat itu, Thomas
Stamford Raffles yang merupakan seorang warganegara Inggris ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa.
Ia mengumpulkan artefak-artefak antik
kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa
yang dikumpulkan dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanan
mengelilingi Jawa.
Pada kunjungan inspeksinya di Semarang
tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar yang terletak jauh
di dalam hutan dekat desa yang bernama Bumisegoro. Karena berhalangan dan
tugasnya sebagai Gubernur Jenderal, ia sendiri tidak dapat pergi untuk mencari
bangunan itu.
Lalu ia mengutus H.C. Cornelius,
seorang insinyur Belanda untuk menyelidiki keberadaan bangunan besar itu.
Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200
bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur
dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur monumen yang disebut candi itu
Karena ancaman longsor, ia tidak dapat
menggali dan membersihkan semua lorong. Setelah pekerjaan dirasa selesai, ia
kembali dan melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai
sketsa candi Borobudur.
Kemudian pada sekitar 1835, Hartmann
yang merupakan seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda meneruskan kerja
Cornelius, dan dari kerjaannya itulah akhirnya seluruh bagian bangunan telah
tergali dan terlihat. Saat itu Hartmann tidak tidak menulis laporan atas
kegiatannya secara khusus, beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha
besar di stupa utama.
Lalu pada 1842, Hartmann menyelidiki
stupa utama tersebut meskipun apa yang ia temukan tetap menjadi misteri, karena
bagian dalam stupa kosong.
Pekerjaan dan penelitian atas candi
ini terus berlanjut. Seperti F.C. Wilsen, J.F.G. Brumund, dan C. Leemans,
mereka di utus pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan penelitian lebih
terperinci.
Untuk waktu yang cukup lama, ternyata
Borobudur telah menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri,
penjarah candi, dan kolektor 'pemburu artefak'. Kepala arca buddha adalah
bagian yang paling banyak dicuri.
Karena mencuri seluruh arca buddha itu
terlalu berat dan besar, kemudian arca sengaja dijatuhkan oleh pencuri agar
kepalanya terpenggal. Dan karena itulah, kini di Borobudur banyak terdapat arca
buddha tanpa kepala. Kepala-kepala buddha Borobudur ini ternyata telah lama
menjadi incaran kolektor benda antik dan museum-museum di seluruh dunia.
Akibat kondisi yang dirasa cukup
mengkhawatirkan untuk keutuhan candi ini, pada 1882, kepala inspektur artefak
budaya kemudian menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya
dipindahkan ke museum. Namun karena dirasa terlalu berlebihan atas kekhawatir
ini, rencana pembongkaran itu dibatalkan.
Tindakan penjarahan situs bersejarah
ini ternyata salah satunya ada yang melalui izin pemerintah kolonial. Pada
1896, Chulalongkorn (Raja Thailand) menyatakan minatnya untuk memiliki beberapa
bagian Borobudur. Keinginan ini diungkapkannya saat berkunjung ke Jawa di Hindia
Belanda (Indonesia).
Pemerintah Hindia Belanda lalu
mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian bangunan
Borobudur.
Artefak yang diboyong ke Thailand
antara lain yaitu lima arca buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung
singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang, serta arca pejaga
dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi (beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur).
Beberapa artefak ini (arca singa dan
dwarapala) sekarang dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Borobudur kembali menarik perhatian
pada 1885, ketika Yzermen yang menjabat sebagai Ketua Masyarakat Arkeologi di
Yogyakarta, menemukan kaki yang tersembunyi dari candi ini.
Penemuan ini mendorong pemerintah
Hindia Belanda untuk mengambil langkah yang bertujuan menjaga kelestarian candi
ini.
Kemudian pada 1900, guna mebeliti
lebih lanjut, pemerintah membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat, yaitu
Brandes seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp seorang insinyur juga anggota
tentara Belanda, dan Van de Kamer seorang insinyur ahli konstruksi bangunan
dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada 1902, komisi ini mengajukan
proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur kepada pemerintah dan total
biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar 48.800 Gulden.
Atas persetujuan dari pemerintah,
kemudian pemugaran dilakukan pada kurun waktu 1907 hingga 1911 dengan
menggunakan prinsip anastilosis yang dipimpin oleh Theodoor van Erp.
Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk
menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan
panel batu.
Van Erp membongkar dan membangun
kembali tiga teras melingkar dan stupa di bagian puncak. Dalam prosesnya, Van
Erp menemukan banyak hal yang dapat diperbaiki, ia kemudian mengajukan proposal
lain yang disetujui dengan anggaran tambahan sebesar 34.600 Gulden.
Van Erp melakukan rekonstruksi lebih
lanjut,
ia bahkan dengan teliti merekonstruksi
chattra (payung batu susun tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Pada
pandangan pertama, Borobudur telah pulih seperti pada masa kejayaannya. Akan
tetapi rekonstruksi chattra hanya menggunakan sedikit batu asli dan hanya
rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.
Kini mastaka atau kemuncak Borobudur
chattra susun tiga itu tersimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur. Namun
chattra yang bisa dilihat sekarang berbeda dengan hasil rekonstruksi Van Erp
dahulu, karena terdapat batu-batu yang sudah hilang.
Oleh Van Erp dahulunya ditambah lagi susunan ornamen sebanyak 9 tingkat. Namun oleh beberapa ahli arkeologi keberadaan chattra tersebut diragukan.
Oleh Van Erp dahulunya ditambah lagi susunan ornamen sebanyak 9 tingkat. Namun oleh beberapa ahli arkeologi keberadaan chattra tersebut diragukan.
Isu mengenai adanya chattra di puncak
Candi Borobudur belum terbukti, karena setelah dilakukan pengamatan terhadap
rekonstruksi chattra yang sekarang disimpan di Museum Karmawibhangga itu belum
menunjukkan adanya data-data yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa dahulu
terdapat chattra di Puncak Candi Borobudur.
Mungkin hingga kini, masih menjadi
misteri apakah chattra di puncak Borobudur memang asli buatan sang arsitek
Gunadarma, ataukah hanya sebuah hasil karya Van Erp saat ia merekontruksinya.
O iya, pada rentang waktu 1975-1982,
demi melindungi candi besar peninggalan sejarah ini, Pemerintah Indonesia
kembali melakukan pemugaran besar-besaran. Hal ini dilakukan karena saat Van
Erp melakukan pemugaran, ia menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya
kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian
bangunan dan merusak batu candi.
Proyek kolosal ini melibatkan 600
orang untuk memulihkan candi dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243
dollar AS. Setelah renovasi, UNESCO kemudian memasukkan Borobudur ke dalam
daftar 'Situs Warisan Dunia' pada tahun 1991.
Dan hingga kini, Borobudur tetap menjadi
salah satu kebanggaan Indonesia.
https://www.facebook.com/atlanindonesia?fref=ts
0 Response to "Secret of Borobudur"
Post a Comment